Palembang. Musik dan kopi punya kesamaan: sama-sama bikin suasana jadi hangat. Bedanya, kopi dibayar langsung saat diseduh, sementara musik sering kali dinikmati gratis tanpa pikir panjang. Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sumatera Selatan mengingatkan bahwa memutar musik di kafe, restoran, atau tempat usaha publik ada aturannya—dan aturan itu mewajibkan pembayaran royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta.
Pesan ini disampaikan langsung oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkum Sumsel, Alkana Yudha, dalam talkshow interaktif di Radio Sonora Palembang, Rabu (13/8), bertema “Kopi Punya Harga, Musik Juga: Mengupas Kewajiban Royalti di Kafe”.
“Kalau kita rela bayar kopi yang kita minum, kenapa musik yang kita putar di kafe nggak kita hargai? Pembayaran royalti itu bentuk apresiasi kepada pencipta lagu,” ujarnya dihadapan host Weni Ramdiastuti dan Musisi Erwan Erfiatmans.
Yudha menjelaskan, bahwa royalti bukanlah pajak, negara tidak mendapatkan apa-apa secara langsung dari royalti. Semua pungutan royalti itu disalurkan kepada yang berhak, dan yang menyalurkannya bukan pemerintah, tetapi oleh LMK yang memungut royalti.
Menjawab pertanyaan yang sering muncul—“Kalau sudah bayar Spotify, kenapa masih harus bayar royalti?”—Yudha menjelaskan bahwa biaya berlangganan Spotify hanya memberi hak mendengarkan musik untuk kepentingan pribadi (personal use). Begitu musik diputar di ruang publik seperti kafe, itu sudah masuk kategori pertunjukan publik (public performance), yang membutuhkan lisensi terpisah melalui LMKN.
“Memutar musik di kafe berarti kita menggunakan lagu tersebut sebagai bagian dari pengalaman bisnis yang dinikmati oleh pengunjung. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan PP No. 56 Tahun 2021 mengharuskan pemilik usaha membayar royalti tambahan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Royalti ini memastikan bahwa pencipta dan pemegang hak cipta mendapatkan kompensasi yang adil ketika karya mereka diputar di ruang publik, terlepas dari apakah sumber lagunya dari Spotify, YouTube, CD, atau bahkan radio,” paparnya.
Terkait besaran biaya, LMKN telah menetapkan tarif royalti untuk kafe dan restoran sebesar Rp 120.000 per kursi per tahun. Angka ini terdiri dari Rp 60.000 untuk hak pencipta dan Rp 60.000 untuk hak terkait. Perhitungannya berdasarkan rata-rata jumlah kursi yang terisi, bukan kapasitas maksimal kafe. Misalnya, jika rata-rata 20 kursi terisi setiap hari, maka biaya royalti per tahun adalah 20 × Rp 120.000 = Rp 2.400.000, atau sekitar Rp 200.000 per bulan. Skema ini dinilai lebih adil karena menyesuaikan okupansi aktual, sehingga tidak memberatkan pelaku usaha skala kecil.
Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Sumsel, Maju Amintas Siburian, menegaskan bahwa membayar royalti bukan sekadar kewajiban hukum, tapi juga wujud dukungan terhadap industri kreatif nasional. “Setiap nada yang diputar adalah hasil kerja keras penciptanya. Hargai mereka sebagaimana kita ingin karya kita dihargai,” katanya.
Kanwil Kemenkum Sumsel mengapresiasi langkah Radio Sonora Palembang yang membuka ruang diskusi publik terkait royalti musik. Edukasi seperti ini diharapkan dapat mendorong semakin banyak pelaku usaha di Sumatera Selatan untuk memutar musik secara legal, sehingga ngopi di kafe bukan cuma bikin hati hangat, tapi juga bikin para musisi tersenyum.